MYLIFESTYLE – Apakah negara selama ini telah melindungi produser film nasional dalam mendapatkan kepastian penayangan film di jaringan bioskop? Dan apakah negara telah memberikan ikhtiar yang sepatutnya dalam menjaga dan melindungi ekosistem film nasional di negerinya sendiri?
Dalam Diskusi “Peran Pemerintah dalam Mendukung Produser Film; Kepastian Penayangan Film di Bioskop,” yang digagas Direktorat Perfilman Musik dan Media (PMM) Kemendikbudristek RI, dan Departemen Seni Musik dan Film, PWI Pusat, yang melibatkan sejumlah wartawan film, mencuat beberapa gagasan menantang.
Salah satunya dengan menjual Harga Tiket Masuk (HTM) yang berbeda antara film Nasional dan film Import. Atau HTM tiket film import 3 sampai 5 kali lebih mahal dari film Nasional. Dengan demikian diharapkan ekosistem film Nasional terlindungi atau jauh lebih terjaga keberadaannya.
Demikian dikatakan wartawan senior dan ahli hukum pers Wina Armada Sukardi dalam diskusi yang berjalan secara Online di Jakarta, Selasa (16/7/2024) siang.
“Karena ada indikasi Dumping (praktik dagang yang dilakukan oleh eksportir dengan cara menjual barang di luar negeri dengan harga yang lebih murah dibandingkan harga di dalam negeri) terutama dari film Hollywood, yang tiket nonton di luar negeri kalau dirupiahkan di angka Rp250 ribu, tapi tiket di jual di kita di harga Rp35 ribu hingga Rp50 ribu,” kata Wina Armada.
Dengan biaya produksi film yang jauh berbeda dengan film nasional, film Hollywood celakanya, menurut Wina Armada menjual tiket seharga film nasional.
Akibatnya, jika diberi pilihan menonton film lokal atau import, dengan harga tiket yang sama, penonton film berkecenderungan menonton film import. Meski Wina tidak menampik, raihan film lokal atau nasional saat ini mengungguli film import.
“Tapi dalam waktu dekat, bukan tidak mungkin film import akan melakukan rebound atau kembali meraih penonton besar, apalagi sejumlah film Marvel akan rilis lagi,” sambung pelaku dan penggiat film Shandy Gasela.
Meski wartawan senior Yan Widjaja menolak usulan Wina Armada, karena menurut dia, dengan harga tiket yang njomplang atau berbeda antara film lokal dan film import akan merugikan masyarakat Indonesia yang akan mengasup film import.
“Berarti HTM film India, Korea, juga Thailand yang notabene juga film import akan ikut berubah dong? Padahal di tahun 90 an yang mengusulkan harga tiket yang sama antara film lokal dan import adalah Sophan Sophian, dengan harapan ada keadilan harga,” kata Yan Widjaja.
Sedangkan menurut Asianto Sinambela, SH, mantan negosiator Indonesia di WTO dan mantan Konjen Indonesia di San Fransisco AS, dan Marseille, Prancis tudingan dumping pada HTM di bioskop Indonesia akan berliku dibuktikan.
“Meski sebenarnya kita tidak perlu gentar berhadapan dengan WTO, karena kita sudah menjadi bagian dari warga dunia. Yang pasti selama sebuah sistem pasar kita nilai tidak adil, bisa kita uji,” katanya.
Senada, Ketua Departemen Seni, Film dan Musik PWI Pusat Benny Benke juga menjelaskan pemerintah China, Iran hingga India mempunyai kiat masing-masing dalam memproteksi film nasional dari serbuan film asing di negaranya.
Sebelumnya Perwakilan Dit. PMM Kemendikbudristek, Nuzul Kristanto mengatakan Negara telah memberikan regulasi yang jelas dan adil dalam melindungi ekosistem film nasional.
Dengan salah satunya membuat regulasi yang mengatur tentang penayangan film di bioskop, termasuk persentase film lokal yang wajib ditayangkan. Dengan tetap mempertimbangkan kepentingan industri film secara keseluruhan.
Serta memberikan insentif dan subsidi kepada produser film lokal untuk membantu mereka memproduksi film berkualitas tinggi. Diantaranya dengan memberikan dana hibah, keringanan pajak, atau akses ke infrastruktur film yang lebih murah.
“Meski sampai saat ini pemerintah belum dapat membangun infrastruktur film, seperti gedung bioskop, untuk membantu produser film lokal dalam mendistribusikan film mereka,” katanya
Sebagaimana diharapkan banyak produser film nasional, sehingga film nasional peredarannya tidak melulu bergantung pada eksebisioner swasta yang demikian menggurita, yang mempunyai aturan mainnya sendiri. Yang pemerintah tidak bisa leluasa mengaturnya, meski UU Perfilman telah mengamanatkannya.
Selain peran-peran di atas, pemerintah juga telah menjalin kerjasama dengan berbagai pihak, seperti industri film, organisasi masyarakat sipil, dan akademisi, untuk mengembangkan strategi yang efektif dalam melindungi dan memajukan industri film nasional.
Dalam diskusi yang dipandu wartawan senior Republika Mohamad Akbar itu, juga diusulkan merumuskan langkah yang lebih berani dengan mengawal UU Perfilman No. 33 tahun 2009, agar PP atau Peraturan Pelaksananya tidak hanya berhenti di Peraturan Menteri (Permen), sehingga mempunyai daya tekan yang lebih kuat. Sehingga persoalan lawas tentang tata edar menemukan jalan keluar yang lebih berkeadilan. ***