
Misteri Lereng Merbabu: Benarkah Wayang Viral Ini Dibuat dari Kulit Manusia Asli?
MYLIFESTYLE.ID,- “Cerita seperti ini bukan cuma soal takut, tapi soal rasa ingin tahu,” ujar Dwi Antoro, seorang peneliti budaya UGM, menggarisbawahi daya tarik tak terhindarkan dari sebuah kisah yang melampaui batas nalar dan kengerian biasa. Pernyataan tersebut secara tepat menggambarkan fenomena kegemparan di dunia maya yang kini tengah melanda, berpusat pada sebuah legenda yang sudah lama bersemayam di tanah Jawa—kisah mistis tentang “Wayang Kulit Manusia” yang konon tersembunyi di kawasan sepi di Lereng Gunung Merbabu, Jawa Tengah.
Gelombang perhatian publik ini dipicu oleh sebuah video eksplorasi sinematik dari kanal YouTube, Ghost Ranger Indonesia, yang baru-baru ini menayangkan dokumenter panjang yang merangkum perjalanan mereka mendaki pegunungan tersebut untuk mencari bukti keberadaan artefak wayang yang disebut-sebut terbuat dari kulit manusia. Dengan durasi yang hampir mencapai satu jam penuh, rekaman yang mengombinasikan pencarian di malam hari, interaksi dengan masyarakat lokal, serta atmosfer visual yang mencekam dan menyeramkan ini berhasil memicu kembali diskusi tentang batas antara seni, spiritualitas, dan kegelapan.
Lonjakan drastis dalam minat masyarakat terhadap subjek yang begitu tabu ini menunjukkan bagaimana algoritma media sosial modern mampu berfungsi sebagai katalisator, secara efektif menghidupkan kembali narasi-narasi kultural yang sangat tua dan kelam ke dalam ruang budaya populer kontemporer. Mitos yang awalnya hanya beredar di kalangan terbatas masyarakat lokal kini telah diangkat ke permukaan, menjadi topik hangat di linimasa jutaan pengguna internet, membuktikan bahwa daya pikat dari cerita horor yang berakar pada tradisi tidak akan pernah pudar, terutama saat dikemas ulang dalam format digital yang begitu dekat dengan generasi muda.
Dalam kurun waktu kurang dari 48 jam setelah penayangannya, cuplikan video eksplorasi dari Ghost Ranger Indonesia tersebut dilaporkan telah menembus angka ratusan ribu penonton, yang kemudian memicu potongan-potongannya untuk viral secara masif di berbagai platform seperti TikTok, X, dan Instagram Reels. Fenomena ini bukan hanya sekadar lonjakan angka penayangan biasa, melainkan sebuah indikasi kuat mengenai kehausan audiens digital terhadap konten lokal yang menggabungkan elemen horor dengan narasi budaya yang mendalam dan otentik.
Banyak penonton yang memberikan julukan khusus terhadap konten ini, mendeskripsikannya sebagai sesuatu yang “mistis tapi estetik,” yang dengan cerdas mampu menggabungkan aspek horor psikologis, dimensi spiritualitas Jawa, dan kekayaan budaya lokal dalam sebuah sajian visual. Penggunaan gaya found footage khas film-film horor modern memberikan sentuhan kontemporer yang relevan, menjadikannya seolah-olah penonton sedang menyaksikan sebuah film dokumenter supranatural asli Indonesia yang disajikan secara mentah dan tanpa rekayasa.

Di sisi lain, keviralan ini juga memunculkan interpretasi yang unik mengenai peran media sosial dalam melestarikan warisan leluhur; sebagaimana disampaikan oleh akun populer @budayakita.id di TikTok, “FYP bukan cuma algoritma, kadang, itu cara leluhur memanggil perhatian kita lewat layar,” yang menegaskan bahwa konten viral bisa menjadi jembatan spiritual bagi generasi muda. Berkat kehadiran Ghost Ranger dan kemampuannya mengemas cerita, kini generasi milenial dan Gen Z kembali dihadapkan pada filosofi mendalam di balik kesenian wayang, namun melalui medium baru yang jauh lebih akrab: layar ponsel dan sajian konten yang mudah dikonsumsi.
Legenda inti dari Wayang Kulit Manusia yang ditelusuri oleh tim eksplorasi merujuk pada kisah seorang dalang yang secara sengaja menciptakan wayang dari kulit manusia sebagai bagian dari ritual sakral, yang konon dimainkan hanya pada malam-malam keramat seperti Jumat Kliwon. Ki Bayu Adi Wicaksono, seorang dalang muda dari Yogyakarta, menekankan bahwa kisah ini mengakar pada konsep dualitas yang melekat pada kesenian itu sendiri, menegaskan, “Wayang itu selalu dua sisi: terang dan gelap, doa dan dosa, dan mungkin itu sebabnya cerita ini tidak pernah mati.”
Meskipun narasi mistis ini terus berputar dan memikat khalayak, harus diakui bahwa eksistensinya sebagai artefak fisik telah lama dibantah oleh kajian akademik yang valid dan teruji secara ilmiah. Riset mendalam yang dilakukan oleh Otok Herum Marwoto pada tahun 2012, yang diterbitkan dalam jurnal “Wayang Kulit Manusia: Antara Mitos dan Kenyataan,” dengan tegas menegaskan hasil uji laboratorium. Hasil tersebut membuktikan bahwa seluruh wayang purba yang berhasil diuji terbukti dibuat dari kulit binatang, dan bukan dari kulit manusia, menutup celah perdebatan dari sudut pandang materiil.
Namun, fakta yang teruji secara ilmiah tersebut ternyata tidak mampu menenggelamkan mitos yang telah mengakar kuat dan hidup secara turun-temurun, terutama di kalangan masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang justru memperkuat narasi simbolisnya. Kisah ini kemudian diyakini bukan sekadar cerita horor atau kisah darah, melainkan sebuah simbol spiritual yang kompleks, mewakili hubungan manusia dengan sisi gelap dari dirinya sendiri yang menantang akal sehat.
Ditinjau dari perspektif kajian budaya, legenda Wayang Kulit Manusia dianggap sebagai sebuah narasi alegoris yang kaya makna dan sangat jauh dari sekadar cerita menakutkan yang dimaksudkan untuk menakuti orang-orang yang mendengarnya. Maulida Afifa Tri Fahyani dari ISI Surakarta menjelaskan bahwa pada awalnya, legenda ini sama sekali bukan merupakan kisah teror atau pertumpahan darah, melainkan sebuah simbol spiritual tentang manusia yang berupaya untuk memahami dan menerima bayangan dirinya sendiri, atau sisi yang paling gelap dan tersembunyi.
Konsep dalang yang “menyatu dengan bayangan,” yang menjadi bagian penting dari mitos tersebut, sering kali ditafsirkan sebagai sebuah perjalanan spiritual yang sangat pribadi dan ekstrem, di mana seseorang harus berani menghadapi dan merangkul semua aspek keberadaannya, baik yang positif maupun yang paling negatif. Peneliti budaya UGM, Dwi Antoro, memperkuat pandangan ini dengan mengatakan bahwa “Wayang Kulit Manusia adalah refleksi: seberapa dalam manusia berani melihat bayangannya sendiri,” menjadikannya sebuah cerminan filosofis tentang introspeksi dan batas moralitas.
Pada akhirnya, apa yang dilakukan oleh Ghost Ranger Indonesia melalui eksplorasi digital mereka bukan hanya sekadar menghasilkan konten horor yang viral dan sensasional untuk mendulang popularitas di internet, tetapi juga secara tidak langsung membuka ruang diskusi baru yang sangat penting. Perdebatan yang timbul kembali di antara warganet mengenai dokumentasi, spiritualitas, dan kebenaran faktual, membuktikan satu hal mutlak: mitos kuno tentang budaya gelap dapat kembali hidup dan viral di tangan generasi digital tanpa harus kehilangan bobot filosofis dan makna spiritual yang telah mereka bawa selama ratusan tahun.(AS)